Menyantap sate ayam atau kambing itu biasa. Tapi jika sate domba Afrika? Ini mungkin masih jarang terdengar. Tapi bagi pencinta kuliner, sate domba Afrika sudah akrab di telinga. Untuk menuntaskan rasa penasaran, saya mengunjungi kedai sate domba Afrika di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Buat Anda yang baru datang ke tempat ini, mungkin agak kesulitan mencari kedai ini. Namun, hampir semua orang di kawasan jalan K.S. Tubun mengenal kedai ini. Pemiliknya adalah Haji Ismail Coulubally, 50 tahun. Orang sekitar akrab memanggilnya Pak Haji.
Letak kedai Pak Haji agak menyempil di sebuah kawasan bangunan kuno tepat di samping Museum Tekstil.
Kalau yang ada di kepala Anda saat ini adalah sate dengan menggunakan tusuk seperti yang banyak dijual, pasti Anda akan kecele setelah melihat tampilan sate ini. Sate domba ini sama sekali tak mengenakan biting, melainkan lebih mirip daging barbeque, yang dipanggang dan disajikan tanpa tusuk. “Dari sananya memang tak memakai tusuk,” ujar Ismail.
kedai yang tampak sederhana dan hanya dipasangi peta Benua Afrika itu saat saya sambangi sudah terlihat sepi. Untung saja, berkat kebaikan Ismail, saya masih bisa mencicipi seporsi sate ini. Daging domba yang dipanggang itu terlihat menggoda. “Ini domba spesial,” kata pria asal Mali ini. Aromanya memang tak terlalu menusuk seperti sate kambing biasa, bahkan bau prengus-nya tak ada.
Domba yang dipilih adalah domba dari kawasan Cipanas, Jawa Barat. Menurut Ismail, domba ini merupakan domba kualitas terbaik. Herman, salah seorang pegawai di tempat ini, memperlihatkan kepada saya gambar saat domba-domba itu akan diangkut ke Jakarta. Domba yang dipilih sudah tanpa kepala dan kulit.
Meski banyak peminat, tempat ini hanya menghabiskan dua ekor domba. Karena itu, sate di kedai yang buka pada pukul 10.00 WIB ini sudah habis saat waktu menunjuk pukul 14.00 WIB. “Pak Andi Mallarangeng pernah kehabisan waktu datang ke sini,” kata Herman menunjuk juru bicara kepresidenan.
Sebelum sampai ke meja pelanggan, proses penyiapan sate ini cukup panjang. Daging domba yang dipotong menjadi 24 bagian kemudian dibakar di atas bara hingga 70 persen matang. Nah, uniknya, api dari bara itu tak boleh sampai menjilati daging. Karena itu, Herman sesekali menyemprotkan air agar api tak menyentuh daging. Potongan daging itu kemudian dimasukkan ke sebuah panci besar untuk kemudian diungkep di atas bara tersebut.
Setelah 20 menit, cairan lemak yang mengisi setengah panci kemudian dibuang. Daging lalu dipotong menjadi bagian yang lebih kecil, kemudian dibakar lagi hingga matang dan tak ada lemak yang tersisa. “Ada orang yang pernah terserang stroke tetap datang ke sini dan kadar kolesterolnya tak naik,” kata Herman.
Masih ada proses yang harus dilewati, yaitu daging yang sudah dibakar itu dikumpulkan dalam sebuah panci yang lebih kecil. Nah, atraksi yang berbunyi glutak-glutuk pun dimulai. Daging tersebut rupanya dicampur dengan bumbu, seperti garam dan kaldu. Atraksi yang mirip seorang bartender mencampur minuman itu dimaksudkan agar bumbu meresap ke daging. Daging yang dikocok cukup lama itu akhirnya siap dihidangkan.
Daging yang sudah disusupi bumbu itu kemudian dihidangkan dengan irisan bawang Bombay. Untuk cocolannya, mustard berwarna kuning dicampur sambal Lampung yang pedas. Eit, jangan langsung mencocol daging dengan sambal. Agar sensasinya terasa, saya mencoba menyantap daging tanpa campuran sambal. Serat daging domba yang kasar memang masih terlihat mencolok. Saat gigitan pertama, daging rasanya menghantam-hantam lidah.
Mulut pun bergoyang-goyang mencabik-cabik daging yang empuk itu. Kemudian daging saya cocolkan ke sambal yang sedari tadi menggoda. Sambal yang dicampur. mustard itu memberikan sensasi rasa pedas manis yang aduhai. Irisan bawang Bombay menjadi pelengkap yang mantap. Sayang, saya tak bisa menikmati pisang tanduk goreng, yang seharusnya menemani sate ini.
Sambal khas Mali, saya sempat merasakan pedasnya huuuhhh…
Jika Anda kehabisan sate di kedai Ismail, pada malam hari datanglah ke Jalan Gajah Mada. Di antara deretan pedagang kaki lima dan penjual obat, ada pula warung sate domba Afrika milik Ferki. Tempat ini sama sekali tak ada hubungannya dengan kedai Ismail. “Saya mencobanya dengan cita rasa yang lebih lokal,” katanya.
Sate Domba Afrika jalan Gajah Mada
Tak ada perbedaan yang mencolok. Hanya, daging sate di tempat ini lebih terasa kaldunya. Ferki mengakui campuran kaldunya memang dia perbanyak agar gurihnya lebih nyangkut. Mustard-nya pun tak dicampur seperti di kedai Ismail. Mustard dipisah dan sambalnya kurang terasa pedas. Untuk mendapatkan seporsi sate, uang yang mesti dirogoh Rp 35 ribu. Ingat, seporsi biasanya cukup untuk dua orang.